Mahkota yang Menyala di Tengah Api
Hening. Sunyi memeluk Pagoda Giok, hanya desah angin yang berbisik melewati lentera-lentera kertas yang menggantung lesu. Di balkon teratas, Rouxi berdiri. Gaun sutra birunya berkibar pelan, bagai gelombang danau yang terluka. Di tangannya, cangkir porselen putih terasa dingin. Dulu, cangkir ini selalu hangat diisi teh oleh Dia.
Dia. Nama itu bagai pecahan kaca yang menusuk kalbunya setiap kali terucap. Pangeran Li Wei, tunangannya, belahan jiwanya… pengkhianatnya. Rouxi menyaksikan sendiri, di bawah cahaya rembulan purnama, bagaimana Li Wei mencium bibir Lan, sahabatnya sejak kecil. Sebuah tusukan yang lebih perih dari ribuan pedang.
Namun, Rouxi tidak berteriak, tidak menangis meraung. Ia hanya berbalik, melangkah menjauh, meninggalkan pesta pertunangan yang berubah menjadi panggung sandiwara. Bukan karena lemah, melainkan karena ia tahu terlalu banyak. Ia tahu bahwa Li Wei, dengan senyum manis dan tatapan memikatnya, menyimpan ambisi gelap. Ia tahu tentang rencana pemberontakan yang akan menumbangkan Kaisar.
Rahasia itu, terpatri dalam hatinya, adalah pedang bermata dua. Jika ia membongkar kebusukan Li Wei, kerajaan akan selamat, tapi ia juga akan menyeret keluarganya ke dalam jurang kehancuran. Ayahnya, Jenderal besar yang setia pada Kaisar, akan dicap sebagai pengkhianat karena darah Li Wei mengalir di tubuh Rouxi.
Malam demi malam, Rouxi hidup dalam kebisuan. Ia menolak bertemu Li Wei, mengurung diri di Pagoda Giok, dan hanya ditemani alunan guqin yang lirih. Nada-nada itu adalah jeritan hatinya, penyesalannya, dan juga… harapan samar.
Satu hal yang mengganjal pikirannya. Malam itu, ketika ia memergoki Li Wei dan Lan, ia melihat sesuatu yang aneh di jari Lan. Sebuah cincin perak dengan batu akik merah delima. Cincin itu, identik dengan cincin yang diberikan Ibunda Ratu kepada Rouxi sebelum wafat. Ibunda Ratu selalu berpesan, "Cincin ini adalah perlindunganmu, nak. Jangan pernah melepaskannya."
Lalu, bagaimana cincin itu bisa berada di jari Lan?
Berbulan-bulan berlalu. Pemberontakan Li Wei meletus. Langit ibu kota merah membara. Pedang beradu, darah tumpah ruah. Di tengah kekacauan, Rouxi tetap tenang. Ia tahu, takdir sedang memainkan peranannya.
Kabar buruk datang. Li Wei berhasil mendekati Kaisar. Istana runtuh. Namun, sebelum Li Wei berhasil merebut takhta, sesuatu terjadi.
Lan, dengan wajah pucat pasi, menikam Li Wei dari belakang!
"Aku… aku melakukan ini untukmu, Rouxi," bisik Lan, sebelum akhirnya roboh. Sebuah anak panah menembus dadanya.
Di tangan Lan, tergenggam erat cincin perak dengan batu akik merah delima. Rouxi baru menyadari. Lan bukan hanya sahabatnya, tapi juga kembaran identiknya. Ibunda Ratu, sebelum wafat, telah mengatur segalanya. Ia menitipkan Lan kepada seorang biksu di kuil terpencil, untuk melindunginya dari intrik istana.
Cincin itu adalah tanda. Jika Rouxi dalam bahaya, Lan akan datang untuk menyelamatkannya.
Pemberontakan Li Wei berhasil dipadamkan. Bukan oleh Rouxi, bukan oleh Kaisar, melainkan oleh Lan, saudara kembarnya yang rela mengorbankan nyawa.
Rouxi menatap langit yang mulai memerah. Kekaisaran akan dibangun kembali. Tapi, ia tahu, ia tidak akan pernah bisa melupakan pengkhianatan, pengorbanan, dan rahasia yang ia simpan rapat-rapat.
Ia tidak pernah mencintai Li Wei. Cincin itu tidak pernah ada di jarinya, melainkan di jari Lan. Dan sekarang, Lan telah pergi, membawa serta kebenaran yang selamanya akan terkubur bersamanya.
Mahkota kekaisaran mungkin akan bersinar kembali, tapi mahkotanya, mahkota pengetahuannya, akan terus menyala di tengah api penyesalan…
Apakah kebebasan sejati pernah benar-benar menjadi miliknya?
You Might Also Like: 103 Manfaat Moisturizer Lokal Untuk
0 Comments: