Kau Menatapku dengan Cinta, Tapi Aku Hanya Melihat Bekas Luka Lama
Lampu-lampu kristal di aula berdansa di atas gaun sutra merah delima milik Anya. Ia tersenyum, senyum yang dilatihnya bertahun-tahun untuk menutupi riak badai di hatinya. Di seberangnya, berdiri Li Wei, pria yang menatapnya dengan tatapan teramat dalam. Tatapan yang seharusnya membuat jantungnya berdebar, tapi yang ia lihat hanyalah refleksi pengkhianatan.
"Anya, kau terlihat luar biasa malam ini," bisik Li Wei, tangannya menyentuh pinggang Anya. SENTUHAN itu seharusnya terasa protektif, hangat, tapi Anya merasakan racun menjalar di nadinya. Dulu, sentuhan ini adalah janji, pelabuhan, rumah. Sekarang, hanyalah pengingat.
"Terima kasih, Li Wei," jawab Anya, suaranya selembut sutra. Ia tahu, di mata Li Wei, ia adalah puncak keanggunan, sosok yang pantas dipuja. Tapi Anya tahu lebih baik. Ia adalah reruntuhan yang dibangun kembali dengan kebencian sebagai semennya.
Dulu, Anya adalah gadis lugu yang mencintai Li Wei dengan segenap hatinya. Mereka bermimpi tentang masa depan yang dipenuhi tawa dan anak-anak. Li Wei menjanjikan bintang dan bulan, dunia di kakinya. Tapi kemudian, muncul Wang Mei, sahabat Anya sendiri. Wang Mei dengan senyum manis dan kata-kata berbisa. Li Wei terpesona, terjerat, dan janji-janjinya berubah menjadi belati yang menusuk jantung Anya.
Anya melihat Li Wei mencintai Wang Mei, melihat mereka tertawa bersama, membangun dunia baru di atas kehancurannya. Ia hancur. Hancur berkeping-keping. Namun, Anya tidak menyerah. Ia mengumpulkan serpihan hatinya, mengasahnya menjadi senjata. Ia belajar, ia merencanakan, ia menunggu.
Dan sekarang, di sinilah mereka. Li Wei, sukses dan berpengaruh, mencintainya. Wang Mei? Ia telah menghilang, jejaknya dihapus dari kehidupan Li Wei seolah tidak pernah ada. Anya lah yang membantunya melupakan, perlahan tapi pasti.
"Aku sangat beruntung memilikimu, Anya," kata Li Wei, mendekatkan wajahnya.
Anya membiarkannya. Ia membiarkan Li Wei menciumnya, membiarkan dirinya diperlakukan seperti dewi. Di benaknya, ia memutar ulang adegan demi adegan: malam ketika ia mengetahui perselingkuhan itu, air mata yang ia tahan mati-matian, kehancuran yang ia rasakan.
Balas dendam Anya tidak berdarah. Ia tidak berteriak, tidak memaki, tidak membunuh. Balas dendamnya adalah penyesalan abadi yang akan menghantui Li Wei seumur hidupnya. Ia akan membiarkan Li Wei mencintainya, menyayanginya, memujanya, sampai Li Wei sadar bahwa ia tidak akan pernah mendapatkan cinta sejati Anya. Ia akan membiarkan Li Wei hidup dalam kekosongan, merindukan sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia miliki lagi.
Malam itu, Anya memeluk Li Wei erat-erat, air mata tipuan mengalir di pipinya. "Aku juga mencintaimu, Li Wei," bisiknya.
Ia berbohong. Ia tidak merasakan apa-apa selain kemenangan yang pahit.
Lalu, Anya berbisik, "Aku pernah menyayangimu, Li Wei. Dulu sekali." Ia membiarkan kalimat itu menggantung di udara, di antara mereka. Kalimat yang akan menghantui Li Wei selamanya.
Di mata Anya, Li Wei melihat pantulan dirinya sendiri. Pantulan seorang pria yang kehilangan segalanya, meskipun ia pikir ia telah mendapatkan segalanya. Anya tersenyum. Senyum yang menipu, senyum yang mematikan.
Kemudian, Anya berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Li Wei berdiri terpaku di tengah keramaian. Ia tahu, ia telah memenangkan pertempuran ini. Tapi ia juga tahu, perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama, dan rasa sakitnya sama.
You Might Also Like: Agen Skincare Penghasilan Tambahan Kota
0 Comments: