Air Mata yang Menjadi Bunga di Kuburan Cinta Gerbang kediaman keluarga Lin menjulang angkuh, bisu menyaksikan dua bocah laki-laki tumbuh b...

Drama Abiss! Air Mata Yang Menjadi Bunga Di Kuburan Cinta Drama Abiss! Air Mata Yang Menjadi Bunga Di Kuburan Cinta

Drama Abiss! Air Mata Yang Menjadi Bunga Di Kuburan Cinta

Drama Abiss! Air Mata Yang Menjadi Bunga Di Kuburan Cinta

Air Mata yang Menjadi Bunga di Kuburan Cinta

Gerbang kediaman keluarga Lin menjulang angkuh, bisu menyaksikan dua bocah laki-laki tumbuh bersama di bawah naungannya. Lin Wei dan Lin Jian, bukan saudara kandung, namun terikat lebih erat dari darah. Wei, pewaris sah dengan senyum menawan yang menyembunyikan ketajaman baja. Jian, anak haram yang dipungut dan dibesarkan seperti keluarga, namun matanya menyimpan bara api pemberontakan. Mereka berbagi segalanya: mimpi, tawa, bahkan rahasia yang mengikat mereka dalam jaring takdir yang rumit.

"Wei," bisik Jian suatu malam di bawah rembulan, suaranya rendah seperti desiran angin. "Kau tahu, bukan? Bahwa aku tidak akan pernah bisa benar-benar menjadi sama denganmu."

Wei tersenyum, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. "Omong kosong, Jian. Kau adalah saudaraku. Kita akan selalu bersama."

Namun, di balik senyum itu, tersembunyi sebuah kebenaran pahit. Keluarga Lin, kaya raya dan berkuasa, menyimpan rahasia kelam. Sebuah rahasia tentang asal-usul Jian, dan tentang pengkhianatan yang menggerogoti fondasi keluarga itu sendiri.

Waktu berlalu. Wei menjadi pemimpin yang karismatik, memimpin bisnis keluarga dengan tangan besi. Jian, di sisi lain, menjadi bayangan, pelindung setia yang selalu mengawasi. Tapi di balik kesetiaan itu, amarah terus membara. Ia tahu, ia MERASAKAN, bahwa Wei menyembunyikan sesuatu.

"Wei, katakan padaku," desak Jian suatu malam, nada suaranya berbahaya. "Katakan padaku apa yang kau sembunyikan tentang ibuku!"

Wei terdiam. Di matanya, terlihat keraguan sesaat, sebelum akhirnya tertutup kembali. "Kau tidak perlu tahu, Jian. Itu adalah masa lalu yang sebaiknya dilupakan."

Itulah awal dari keretakan yang tak terhindarkan. Jian mulai mencari tahu sendiri, menggali masa lalu keluarga Lin dengan tekad membara. Ia menemukan surat-surat tua, catatan tersembunyi, dan saksi bisu yang menyimpan kebenaran yang mengerikan. Ibunya, ternyata, adalah cinta sejati ayah Wei, sebelum dijodohkan dengan ibu Wei demi kekayaan dan kekuasaan. Lebih buruk lagi, kematian ibunya bukanlah kecelakaan, melainkan... RENCANA.

Kebencian Jian membuncah. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Wei, tapi oleh seluruh keluarga Lin. Dendam menjadi satu-satunya tujuannya. Ia mulai merencanakan balas dendam yang dingin dan terukur.

Malam itu tiba. Wei dan Jian bertemu di gudang tua keluarga Lin, tempat rahasia terkubur dalam debu dan kenangan.

"Kau tahu, bukan, Wei?" kata Jian, suaranya dingin seperti es. "Bahwa aku tahu segalanya."

Wei menghela napas. "Aku tahu kau akan mencari tahu, Jian. Aku hanya... aku hanya ingin melindungi kau."

"Melindungi aku? Dengan kebohongan? Dengan menyembunyikan kebenaran tentang ibuku?" Jian tertawa hambar. "Sungguh mulia, Wei. Tapi kau salah. Kau seharusnya membunuhku saja sejak awal."

Pertarungan pecah. Bukan hanya pertarungan fisik, tapi pertarungan hati dan jiwa. Setiap pukulan, setiap tusukan, adalah manifestasi dari kebencian dan pengkhianatan yang telah lama dipendam.

Di tengah pertarungan, Jian mengungkapkan kebenaran yang membuat Wei terhuyung. Ayah Wei, di bawah perintah ibu Wei yang haus kekuasaan, telah MEMBUNUH ibu Jian. Wei, yang selama ini mengira dirinya melindungi Jian, ternyata telah melindungi kebohongan yang paling mengerikan.

Wei terluka parah, baik fisik maupun emosional. Ia berlutut di tanah, tak berdaya. Jian berdiri di atasnya, pedang di tangannya berlumuran darah.

"Kau tahu, Wei," bisik Jian, suaranya bergetar. "Aku selalu mencintai... atau mungkin membenci... mu."

Jian mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Wei menutup matanya, pasrah pada takdir.

Namun, alih-alih menebas, Jian menjatuhkan pedangnya. Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Wei tergeletak di sana, sekarat.

Wei mengulurkan tangannya, mencoba meraih Jian. "Jian... tunggu..."

Namun, Jian tidak berhenti. Ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Wei sendirian dengan penyesalannya.

Di pagi hari, Wei ditemukan meninggal di gudang tua. Di tangannya tergenggam sehelai kain usang, milik ibunya. Di kuburannya, tumbuh bunga-bunga indah yang disiram air mata penyesalan.

Beberapa hari kemudian, di sebuah pelabuhan yang jauh, seorang pria berdiri menatap laut yang luas. Di tangannya, ia menggenggam sebuah surat, sebuah pengakuan yang ditulis oleh Wei sebelum kematiannya.

"...Aku selalu tahu bahwa kebenaran akan menghancurkan kita. Aku hanya berharap... aku bisa menebusnya sebelum semuanya terlambat..."

Aku selalu mencintaimu, Jian, bahkan ketika aku tahu kau akan membunuhku.

You Might Also Like: Agen Skincare Bisnis Sampingan

0 Comments: