Langit Kota Terlarang membentang kelabu, sama kelabunya dengan hatiku. Di bawah bayang-bayang istana yang megah namun menyimpan seribu duka, aku, Lian, dan dia, Zhao, tumbuh bersama. Saudara seperguruan, sahabat sepermainan, bahkan, mungkin, kekasih dalam mimpi yang tak berani kami ucapkan.
Zhao, dengan senyumnya yang mampu meruntuhkan benteng baja, dan matanya yang menyimpan lautan rahasia. Aku selalu tahu, di balik tawanya, ada jurang yang dalam. Jurang yang aku tak berani selami.
"Lian," bisiknya suatu malam di bawah rembulan yang pucat. "Apakah kau percaya takdir?"
"Takdir adalah omong kosong yang diciptakan orang lemah, Zhao," jawabku, memandang langit yang seolah menertawakan kami. "Kita sendiri yang menentukan jalan hidup kita."
Namun, takdir punya cara kejam untuk membuktikan kesalahanku.
Kami adalah pewaris dua keluarga yang berseteru. Keluarga Lian, dengan tradisi kesetiaan dan kehormatan yang diukir dalam darah. Keluarga Zhao, dengan ambisi membara dan dendam membara terhadap keluarga Lian. Kakek kami, dua jenderal yang bersumpah setia pada Kaisar, berakhir saling mengkhianati demi kekuasaan. Warisan kebencian itu diturunkan pada kami.
Rahasia itu terkuak perlahan, seperti racun yang meresap ke dalam nadi. Sebuah surat tua, tersembunyi di balik gulungan lukisan usang, mengungkap kebenaran pahit. Kakek Zhao, bukan Kakek Lian, yang pertama kali menusuk dari belakang. Kebencian keluarga Zhao dibangun di atas kebohongan.
Zhao tahu. Aku bisa melihatnya di matanya yang tiba-tiba kehilangan cahayanya. Dia telah lama memikul beban itu, menyembunyikannya di balik senyum yang kini terasa bagai belati yang menikamku.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?" tanyaku, suaraku bergetar menahan amarah.
"Bagaimana bisa aku memberitahumu, Lian?" jawabnya lirih, air mata mengalir di pipinya. "Bagaimana bisa aku menghancurkan segalanya? Persahabatan kita, latihan kita, cinta yang diam-diam kurasakan?"
Cinta. Kata itu terasa seperti hinaan. Cinta yang dibangun di atas pengkhianatan. Cinta yang tumbuh di tanah yang tercemar dendam.
Keputusanku bulat. Balas dendam adalah satu-satunya jalan. Aku harus membalas pengkhianatan kakekku, membalas penderitaan keluargaku. Bahkan jika itu berarti menghancurkan Zhao.
Malam itu, di kuil terbengkalai, di bawah bulan sabit yang menajam, kami bertarung. Bukan sebagai saudara, bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai musuh. Setiap gerakan adalah tarian kematian, setiap tatapan adalah tusukan belati.
Pedangku menembus dadanya. Zhao tersenyum lemah, darah mengalir di bibirnya.
"Aku tahu ini akan terjadi, Lian," bisiknya. "Aku tahu kau akan membalas dendam. Hanya saja, aku berharap... aku berharap kau tidak pernah tahu kebenarannya."
Aku menjatuhkan pedangku. Air mata mengalir di wajahku. Aku telah membalas dendam, tapi kemenangan ini terasa kosong.
"Kau tahu... selama ini aku... aku mencintaimu, Zhao."
Kata-kata itu meluncur dari bibirku, seperti bisikan terakhir sebelum kegelapan merenggutnya.
Mungkin, di kehidupan lain, kita bisa menjadi keluarga, bukan musuh.
You Might Also Like: Drama Abiss Janji Yang Dikhianati Di
0 Comments: